Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Satu Per Satu

Temani dan bantu ciptakan nuansa hijrah disetiap detik kehidupanmu





Oleh : Sri Wulandari

 

Dia Rahma, gadis berusia 19 tahun. Di hari libur semester ini dia hanya terdiam di kostnya. Jarak yang jauh membuatnya memutuskan untuk tidak berlibur di kampung halaman. Tinggal jauh dari keluarga karena itulah yang menjadi keputusannya. Begitu pula jurusan Seni adalah pilihannya. Meski sempat ditentang keluarga, tetapi setelah melihat keberhasilannya sekian tahun, saat jari-jemarinya menari di atas kanvas, belajar dan berkompetisi, hingga tak sedikit junior bahkan senior mengakui, keluarga pun menerima penuh rida. Bisa jadi, memang itulah jalannya. Hingga tahun ketiga pun dapat dia lalui, bersama sekian karya dan dunia teoritikal seni itu sendiri.

Tak ada yang istimewa dari gadis penyuka warna cokelat itu. Mungkin, hanya hasil karyanya yang bisa dia unggulkan di kalangan teman- temanya. Karya yang tak memuat banyak subjek manusia. Dia menyukai sudut hidup yang terkadang abai oleh mata. Kala ditanya, dia hanya menjawab 'Human Interest". Itu saja. Dengan wajah datarnya, begitulah dia dikenal sesamanya. Dia gadis yang diam, teramat sangat diam.

Mungkin jika dia duduk di taman kampus, berkawan kanvas dan cat air, tak ada suara yang terdengar, dia kalah dengan kicauan burung dara yang menari puas di angkasa. Sewaktu bergaul bersama kawannya, saling bercakap, dia selalu menjadi telinga dan menolak menjadi mulut yang berbicara.

Dia begitu diam, sangat diam. Jika diperhatikan, hanya sekian kata yang keluar dari lisannya, barang satu-dua kata. Begitulah dia berada.Tak ada yang menarik dalam kisah hidupnya untuk ditulis atau untuk sekadar terurai, barang sepenggal kalimat. Namun, satu sisi dari sekian sisi, ada hal yang mungkin tak banyak manusia pahami. Secuil kisah dari sang pendiam, yang esok hari ia sesali, dengannya dia berusaha memperbaiki diri.

**

Bulan Mei, dua minggu lagi menuju bulan berbintang gemini. Bulan kelahiran ibunda tercinta yang sekian waktu lekang dari keberadaannya, hanya bisa saling bertukar kabar, cerita, dan gambar, tak lebih dari itu. Laiknya kebanyakan remaja sebayanya, dia ingin memberi hadiah istimewa dari tangannya sendiri untuk sang ibu. Selain tak ada uang yang cukup untuk membelikan hadiah yang membuatnya terharu. Namun, itu masih sebatas rencana. Karena itu, dia mengandalkan tangan ajaibnya, sebagaimana yang sering dipuji kawan-kawannya.

Sabtu itu, sore menjelang petang. Dia terduduk manis beralaskan rerumputan kampus, berkawan angin sore, dan bersahabatkan kicauan burung a yang pulang menuju sarangnya, tentu dengan kanvas dan cat airnya. Dia terduduk menghadap gedung utama kampus miliknya, dari sudut yang dia suka. Sekian waktu dia mempersiapkan semuanya, dari bahan cat air, kanvas terbaik, kuas tersolid, hingga objek yang mampu menjadi ahadiah terbaik untuk ibundanya nanti. Dan Sabtu Imenuju Minggu itu, dia harus menyelesaikannya,sebagaimana ditekadkannya dalam hati.

**

Belum lama membuat guratan dan coretan, terdengar suara memanggil dari belakang. Suara yang dikenalnya, Kak Lita, kawan satu kostnya. Kakak tingkat yang bulan depan akan diwisuda. Tanpa basa-basi, meminta untuk difotokan bersama teman seangkatannya. Di antara matahari terbenam, begitu katanya. Dia terdiam, lantas mengiyakan. Dia melepas jemarinya dari kanvas, berganti memegang kamera polaroid. Satu-dua jepret pintanya, tetapi apalah manusia. Hampir seperempat jam, dia berputar mengelilingi seantaro kampus sore itu, demi mencari spot foto terindah untuk dikenang. Dia hanya mengangguk pelan.

Tepat 25 menit berlalu, dan dia belum sempat kembali ke tempat semula. Ada suara lain memanggil, maka ia menolehkan kepalanya. Kali ini kakak tingkatnya di jurusan Desain Visual, Kak Maya. Jika bukan karena berbalas budi bahwa ia sudah membantu menyervis motor pinjaman tempo lalu, ingin rasanya ia menolak. Namun dia tak sampai hati. Dia menemani kakak tingkatnya untuk membawakan beberapa bundel dokumen kegiatan kampusnya untuk dibawa ke kantor fakultas.

Duhh, kantor fakultas kampus ini di lantai 3”, gerutunya

Nian hati bertambah tak nyaman. Dia hanya menggeleng kepala, tantas menjinjing sekian bundel bersamanya, menuju tantal tiga. Membawa-bawa beban bukan hal yang menyenangkan, apalagi menuju lantai tiga. terutama jika di setiap sudut bersua-sapa dengan orang yang dikenal. Terkesan sombong untuk tak menyapa barang mengulum senyum simpul saja Sesekali Kak Maya bertanya sesuatu, memulai pembicaraan, tetapi sama, dia hanya menjawab sekenanya. Naik-turun tangga membawa sekian bundel dokumen, terlebih dengan mengobrol. bagi dirinya sangatlah menguras tenaga.

“Oke, Siap. Terima kasih banyak, Ma”, tukas Kak Maya samban merapikan sekian bundel di atas meja. Dia mengiyakan, tersenyum simpul tantas berbalik, sesegera mungkin kembali.

"Sibuk, ya, Ma?", celetuk Kak Maya lagi. Dan dia mengangguk kecil lalu beranjak pergi dengan langkah seribu kaki. Sebentar lagi matahari tenggelam Garis kuning kan menyusut perlahan.

Dia keluar, menuruni tangga. Sebentar sebentar bertemu kawan, adik-kakak tingkat, staf hingga dosen. Semuanya sama. Hanya senyum singkat lantas berlalu. Tak ada yang berubah Karena memang dia seperti itu. Tanpa disadari ada beberapa rekan bersitatap tetapi diabaikan. Jangankan diabaikan, bisa jadi mereka tak sadar tengah berpapasan. Yang ada di pikirannya kini hanyalah kanvas putih yang bertengger tegak di alas rerumputan.

Tak sampai 10 menit, dia sudah ada di bawah. Tepat di halaman depan gedung utama kampusnya. Bola matanya menangkap barang kesayangan, calon hadiah terbaik untuk ibunda Dia menghela napas, berjalan cepat menujunya. Tanpa hitungan waktu, sekali lagi ada suara Suara yang tak memanggil, tetapi berdecit cepat Tepat berhenti di sampingnya, sebuah motor matic merah muda. Dia tak ingin menoleh. Tak ingin menebak siapa penunggangnya karena dia sudah kenal wama suara si empunya. Rika. kawan satu angkatan berbeda jurusan. Dan untuk kesekian kali, dia pun harus terhenti.

 

"Ma, aku mau minta tolong", tukas Rika cepat membuka kaca helm, tanpa mematikan mesin motor

"Apa lagi kali ini?" tanyanya kencang dalam hati.

Ya. Dalam hitungan 15 menit, dia sudah berada di pasar modern pusat kota. Menemani Rika berbelanja bahan masakan untuk berjualan bubur usaha keluarganya. Kakaknya masih sibuk mengerjakan tugas akhir, sedangkan adiknya lupa jadwal belanja. Mungkin saja tengah asyik bermain bola di lapangan sekolah bersama kawan-kawannya.

Rika tak memiliki kawan lain yang sudi diajak berkeliling pasar, hingga akhirnya, ia menemukan gadis polos yang tak pernah menolak permintaan tolongnya itu. Dia pun menghela napas panjang.

Dan lantas, habis waktunya...

**

Sebentar lagi Magrib. Kanvasnya teronggok bisu tak bernyawa Guratan titik di kanvasnya kering tak bermakna. Kuasnya kaku bercampur cat yang bahkan belum sempat digunakannya. Masih ada esok, dia menyemangati dirinya sendiri. Sembari merapikan sekian alat dan perkakas, dia berjalan pelan menuju sepeda kayuh tua milik ibu kost. Kembali dia berkata. Semoga besok selesail penuh harap seraya menatap rerumputan yang bergoyang terhempas angin senja

Belum sempat diletakkan perkakas di keranjang sepeda tua itu, sekali lagi sayup terdengar suara memanggil. Bukan suara panggilan maupun decitan motor. Namun suara tepukan pundak dari belakang

"Ma. Besok sibuk, ndak? Ada kegiatan pameran di kota sebelah. Ikutan yuk!"

Entah kenapa, semua perkakasnya terjatuh bersamaan, beriningan dengan diamnya yang tiada henti.

Kamu terlalu diam!", batinnya dalam hati.

Dia menunduk, merapikan perkakas yang terceral-berai, diikuti Uli, anak matematika yang menyukai lukisan-lukisan miliknya, yang tiba-tiba datang membantunya. Mereka merapikan setiap inci perkakas dengan rapi, tanpa sepatah kata. Ull sudah sering membersamainya, semenjak SMA Usai meletakkan segala hal di keranjang tua, dia tersenyum pelan, menepuk dadanya, membuang napas kecilnya, lantas menengadah ke angkasa yang perlahan mulai gelap menggulita. Mereka berdua berjalan pulang.

 

Dalam perjalanan, Uli membuka pembicaraan "Kita memang harus sibuk berbaik pada setiap penghuni semesta. Namun, untuk dirimu, jangan lupa dengan bahasa matematikanya antre!" sembari melihat ke arahnya yang menatap keheranan.

"Kenapa matematika?", mungkin begitu tanyanya dalam hati

Uli tersenyum, lantas mengambil buku saku kecil, membuka tutup pena, menulis dua angka. sebuah bilangan pecahan: "1/1"

Dia mengernyitkan alis tanda tak memahami Uli tersenyum, lalu berkata, "Coba dibaca pelan pelan.

"Satu per satu!"

Dia pun terdiam. Mereka saling menatap, berpelukan dengan perasaan lega sembari tertawa renyah sepanjang jalan. Ternyata itu resepnya. Sehebat apapun kekuatan diam untuk mengalah dan berbuat baik, semua urusan perlu dikerjakan satu per satu sesuai urutan dan prioritasnya. Karena kita adalah manusia.

 

 

Referensi :

Yasmin, Alifah (2022), Majalah Mata Air. Jakarta : PT Ufuk Baru. 9(36) h. 40

 

 

 

 



Temani dan bantu ciptakan nuansa hijrah disetiap detik kehidupanmu / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 Comments:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Templatelib