Oleh: Zidan Muhammad
Sirojudin
المهاجر من
هجر ما نهى الله عنه.
Artinya, "Al-Muhajiru
(orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah,"
(HR Al-Bukhari dan Muslim).
***
Tekanan
terhadap umat Islam as-sabiqunal awwalun semakin berat. Kaum Quraisy
Makkah tambah menindas dengan beragam penyiksaan yang menambah penderitaan di
mana-mana. Menghadapi krisis gawat ini, Rasulullah SAW mengambil tindakan
dengan melakukan hijrah Bersama beberapa pengikutnya yang posisinya masih
lemah.
Hijrah
gelombang pertama (di tahun ke-5 kerasulan) menuju Abessinia atau Habasyah,
diikuti 15 orang (10 laki-laki dan 5 perempuan) termasuk Usman bin Affan dan
istrinya Ruqayah, putri Rasulullah. Mereka lalu kembali setelah beberapa bulan
karena mendapat informasi bahwa Makkah sudah aman. Situasi di Kota Makkah
ternyata semakin kacau dan gawat. Teror dari kaum musyrikin tambah menjadi-jadi
yang berujung dibuatnya undang-undang pemboikotan terhadap kaum muslimin.
Tindakan
musuh sudah semakin kalap dan kejam. Maka, untuk gelombang kedua Rasulullah
menyarankan kepada para sahabatnya hijrah lagi ke Abessinia. Kali ini diikuti
101 orang (83 laki-laki dan 18 perempuan) di bawah pimpinan Ja‘far bin Abi
Thalib. Jumlah tersebut melebihi separuh kaum muslimin pada waktu itu. Tapi,
dari sini pula Negus, Raja Abessinia masuk Islam karena terkesan oleh Ja‘far
dan rombongannya.
Teror
Kaum Quraisy semakin sadis, bahkan menargetkan untuk membunuh Rasulullah SAW.
Maka, melihat situasi tersebut dilakukanlah hijrah ketiga. Hijrah massal ini dilaksanakan
menuju Yasrib (yang kelak menjadi Madinatunnabi atau Madinah), diikuti
Rasulullah sendiri. Nabi SAW tiba di Madinah pada tanggal 8 Rabiul Awwal/20
September 622 M.
Hijrah
terbesar ini bukan lagi pilihan atau sukarela dari anjuran Rasulullah SAW,
tetapi langsung perintah Allah untuk menghindari intrik-intrik kejahatan dari musuh-musuh
Islam. Hijrah Nabi ke Madinah bukan kekalahan, melainkan strategi "kemenangan
yang ditangguhkan" untuk menyukseskan misi dakwah. Dan ternyata, hijrah
jadi starting point of the Islamic era atau titik awal kesuksesan dakwah
dan kebangkitan dunia Islam.
Namun
dari peristiwa hijrah tersebut ada yang menarik, peristiwa hijrah Nabi ini
menjadi dasar inspirasi ditemukannya sistem penanggalan bulan (قمرية) yang dikenal sebagai Tahun Hijriyah,
pengimbang kalender matahari (شمسية)
Miladiyah atau Masehi yang sudah ada sebelumnya. Apabila perhitungan tanggal
matahari/Masehi dimulai dari jam 00.00 tengah malam, maka awal tanggal Hijriyah
dimulai dari waktu Maghrib.
Jumlah
hari tahun Hijriyah lebih sedikit 11 hari setiap tahunnya dibandingkan tahun
Masehi. Tahun Hijriyah ditentukan oleh Khalifah Umar pada tahun 17 H/638 M.
Uniknya, prolog kisah dimulai ketika Abu Musa Al-Asy'ari yang menjabat Gubernur
Basrah menerima surat dari Khalifah Umar bin Khattab yang tidak mencantumkan
tanggal (hari, bulan, tahun). Dalam surat balasan kepada Khalifah Umar, Abu
Musa antara lain menulis, "Surat Tuan yang tidak memakai tanggal itu
sudah saya terima......" Kalimat singkat itu dirasakan Umar sebagai
"cubitan" sehingga membuka pikirannya untuk mencari dan menetapkan
penanggalan atau kalender Islam untuk surat-menyurat dan urusan-urusan resmi
negara.
Dalam
musyawarah dengan para staf dan penasihatnya, ada yang usul agar titik tolaknya
dihitung dari hari lahir Rasulullah atau Perang Badar 17 Ramadhan 2 H. Usulan
yang lain, dimulai dari turunnya wahyu pertama atau hari pengangkatan beliau
sebagai Rasul. Akhirnya, usulan yang disepakati secara bersama adalah saran Ali
bin Abi Thalib yang menetapkan dimulainya penanggalan tahun Hijriyah dari
hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah, sebab sejak waktu itulah mulai
terbentuknya kekuatan Islam yang nyata.
Sumber: nu.or.id
0 Comments:
Posting Komentar