Oleh: Zidan Muhammad Sirojudin
Dulu,
Nabi hijrah itu meninggalkan Makkah yang kejam, memusuhi perbedaan dan tak memberi ruang pada Tauhid dan pencerahan.
Dulu,
Nabi hijrah ke Madinah itu membangun peradaban, merukunkan yang bermusuhan, memberi ruang dan penghormatan atas perbedaan, hingga Muslim dan Yahudi pun hidup berdampingan dalam damai di bawah sebuah kesepakatan.
Meski Makkah menorehkan banyak
luka, di hati Nabi yang ada hanya rindu dan cinta. Hijrah tak menjadi sekat
pembatas untuk tetap menyapa dan mengikat hati dengan Makkah. Hijrah tak
menjadikan Nabi dan sahabat tak bergaul dengan kelompok lain karena merasa
paling beriman dan berjasa membangun Madinah. Hijarah tak menjadikan Nabi
menolak berdialog dengan mereka yang memusuhinya, bahkan tak memasalahkan
musuh-musuhnya yang belum mau megakui risalahnya. Perjanjian Hudaibiyah adalah
salah satu buktinya.
Begitulah hijrah Nabi ; tak
pernah menjadi penghalang toleransi ; tak jadi penghambat komunikasi
dengan semua yang berbeda, apalagi pemutus silaturahim dengan kawan dan
saudara. Hingga saat Fathu Makkah tiba, Makkah pun menerima islam tanpa ada
kekerasan. Semua yang memusuhi dimanfaatkan, yang bermusuhan didamaikan, dan
semua merasa dimuliakan. Begitulah hijrah Nabi ; mempersatukan,
mendamaikan, mempersaudarakan, memanusiakan.
Kini,
Fenomena hijrah terlihat berbelok
arah;
Hijrah diidentikan dengan
berganti model pakaian, mengikuti pengajian-pengajian yang ditentukan, tak lagi
berkawan dengan yang tidak sepemikiran, memandang rendah kepada yang dianggap
“belum hijrah” dan menganggap diri lebih islami karena hanya menggunakan
produk-produk yang diproduksi dan dijual kawan sendiri.
Padahal hijrah Nabi yang
dikabarkan dalam kitab-kitab sirah nabawiyah tidaklah demikian. Hijrah Nabi
justru mendorong pembauran dengan penduduk Madinah yang beraneka suku dan
keyakinan. Nabi tak mentang-mentang meski berada di jalur kebenaran sehingga
menyepelekan yang lain. Muamalah dan perdagangan terbuka untuk semua kalangan.
Kini,
Hijrah menjadi garis pembeda
antara “kamu” dan “kami”. Kamu masih belum “Kaaffah” karena belum seperti kami
yang sudah hijrah. Vonis itu sering dikatakan kepada siapa saja yang bukan
kelompoknya, bahkan kepada alim ulama yang sudah puluhan tahun ngaji dan ngajar
agama.
Padahal, hijrah Nabi justru
mempersatukan kelompok-kelompok yang sebelumnya selalu bertentangan. Hijrah
Nabi tak dipakai untuk menjadi pembeda antara mereka yang hijrahnya lillahi
ta’ala dengan mereka yang hijrahnya karena perempuan atau harta. Semua
diserahkan kepada Allah semata. Nabi hanya menyampaikan pesan langit tentang
pentingnya menjaga niat hijrah agar lillahi ta’ala. Itu karena Nabi tahu bahwa
hijrah sangat rawan dicemari oleh niat mencari dunia, dan sangat rentan
terjebak riya’ berupa pamer kesalehan di hadapan manusia.
Kini,
Hijrah bagi sebagian kalangan
bahkan dijadikan alasan menolak toleransi karena merasa diri paling suci. Lebih
menyedihkan, atas nama hijrah empati kepada orang tua sendiri seakan mati. Terdengar
cerita ada anak yang merasa sudah berhijrah berkata, “kalau bapak dan ibu sakit
parah, itu karena dosa-dosa bapak dan ibu yang bergelimang syirik dan bid’ah.
Terimalah itu sebagai kaffarah. Dan biarkan kami mencari selamat dengan
berhijrah. “Maa syaa Allah. Inna Lillaah..
Begitukah hijrah? Pastilah tidak!
Sirah nabawiyah mengabarkan,
bahwa jejak hijrah Nabi adalah membangun masyarakat muslim yang beradab dan
kosmopolitan dengan ajaran dan akhlak Islam, menjadikan masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat peradaban, mempersaudarakan yang bermusuhan, dan menghargai
perbedaan.
Dakwah Nabi di era hijrah adalah
dakwah yang membuka diri, merangkul semua, penuh kearifan dan kebijaksanaan
hingga yang beriman makin cinta dan setia, yang memusuhi pun akhirnya bisa
menerima kebenaran tanpa merasa terhina.
Maka, jika kini ada fenomena
hijrah yang membangun eksklusifisme, memutus silaturahim, menyalahkan yang
berbeda, seraya merasa diri dan kelompoknya paling benar sendiri hingga merasa
berhak mengatasnamankan Tuhan untuk menghakimi.......katakan dengan lantang,
“Bukan begitu laku hijrah yang Nabi contohkan!!!”
0 Comments:
Posting Komentar