Oleh : Sri Wulandari
Sebuah perjalanan membawa dua orang sahabat hingga ke
tepian sungai Venesia di Italia. Setelah mengunjungi beberapa tempat wisata
keduanya ingin melepaskan lelah dan kepenatan,mengunjungi sebuah kafe untuk
minum secangkir kopi, suatu hal yang tidak boleh dilewatkan jika berkunjung ke
Italia. Setelah memilih salah satu sudut yang nyaman untuk melepas kepenatan
hari itu, keduanya memesan secangkir kopi ekspresso sambil mengamati para
pengunjung lokal yang datang ke tempat tersebut.
Selang beberapa waktu seorang laki-laki masuk untuk
memesan kopinya. Uno café, unosuspeso satu kopi, satu digantung, demikian
ucapnya. Lalu bartender menyerahkan secangkir kopi padanya dan menggantung
secarik kertas di dinding. Laki-laki itu menghabiskan secangkir kopi yang
dipesannya namun membayar dua cangkir kopi kepada bartender. Dengan santai ia
meninggalkan kafe itu. Pemandangan ini mengundang perhatian dua orang sahabat
yang sedang duduk di pojokan menyaksikan kejadian itu.
Tidak beberapa lama kemudian dua orang pengunjung lain
datang, menyebutkan pesanannya: duo café, uno suspeso dua cangkir kopi, satu
digantung. Bartender kembali menyiapkan pesanan mereka, menyodorkan dua cangkir
kopi dan menggantung secarik kertas di dinding. Kedua orang tadi menghabiskan
dua cangkir pesanannya, namun membayar tiga cangkir kopi dan meninggalkan kafe
itu.
Pemandangan menarik ini semakin mengundang rasa
penasaran dalam hati keduanya. Lebih heran lagi ketika mereka dikagetkan oleh
kehadiran pengunjung selanjutnya. Seorang lelaki berpakaian kumal dan lusuh,
dengan suara berat mengucapkan pesanannya: “uno suspeso satu yang digantung”,
maka dengan cekatan si bartender mulai meracik secangkir kopi, menyajikannya
bagi sang tamu. Yang menarik, si tamu menghirup dan menikmati kopinya lalu
pergi berlalu tanpa membayar sepeser pun. Selepas kepergian tamu tersebut,
bartender menarik salah satu dari potongan-potongan kertas yang digantungnya di
dinding tadi, merobeknya kemudian melemparkan ke kotak sampah dimana di sana
ternyata sudah bertumpuk robekanrobekan kertas serupa. Pemandangan serupa terus
berlanjut sepanjang hari, kadang ada yang datang memesan kopi dan membayar
lebih dari yang di minumnya namun adapula tamu-tamu yang datang dan menikmati
secangkir kopi tanpa membayar sedikitpun.
Lama-kelamaan pahamlah kedua sahabat tadi bahwa di
manapun di seluruh dunia ini selalu ada makanan atau minuman yang sesungguhnya
bukanlah suatu kemewahan namun mungkin bagi sebagian orang menjadi barang mewah
yang tidak mampu mereka beli. Permasalahannya makanan atau minuman itu adalah
sesuatu yang sangat penting dan berarti bagi masyarakat dalam kultur tersebut.
Sepiring gudeg bagi orang Jogja, semangkuk soto Makassar bagi orang Makassar,
sepotong pempek kapal selam bagi masyarakat Palembang adalah hidangan
sehari hari yang tak mungkin bisa lepas dari keseharian mereka. Bahkan budaya
menikmati secangkir teh mengantarkan masyarakat Jepang pada seremoni yang
begitu panjang. Begitupun secangkir kopi atau capuccino bagi masyarakat Italia
adalah pelambang budaya yang sangat lekat dengan mereka serupa dengan budaya
minum kopi bagi masyarakat Aceh atau orang Manggar di Belitung. Begitu
pentingnya kopi bagi mereka hingga bagi sebagian besar masyarakatnya tiada hari
yang akan mereka lewati tanpa secangkir kopi. Namun tak bisa dipungkiri di masa
ini di mana ketimpangan sosial begitu terasa, sehingga jangan harap mereka bisa
membeli kemewahan dalam secangkir kopi yang bagi sebagian masyarakat lainnya
hanya setara dengan uang receh yang ada di dompet tebal mereka.
Akhirnya menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis di
sana agar orang-orang yang tak berpunya bisa menikmati secangkir kopinya maka
sebagian orang lain yang memiliki kelapangan rezeki akan membayar satu atau dua
cangkir lebih setiap mereka menikmati kopinya hari itu. Satu komponen yang
tidak bisa dilupakan adalah peran bartender yang membuat ‘sistem
transparan’tentang berapa banyak kopi yang akan dibagikan secara gratis hari
itu dengan menggantung kertas kertas bergambar secangkir kopi di dinding agar
‘para peminta’ kopi tak harus berpayah payah memohon atau meminta haknya. Tak
membuat mereka merasa menjadi seorang pengemis atau peminta-minta. Tanpa
bertanya ia bisa segera tahu apakah masih ada tersisa kopi yang bisa
dinikmatinya secara gratis hari itu, dan siapapun akan bisa dengan langkah
tanpa beban masuk ke kafe untuk memesan secangkir kopi tanpa harus khawatir
apakah dia akan mampu membayarnya atau tidak. Merasakan nyamannya masuk ke
sebuah restauran, meminta pesanannya dan dilayani layaknya orang-orang berada.
Sebenarnya inilah unsur terpenting dalam konsep
‘Berbagi’ bagi sesama, dimana kita benarbenar memanusiakan orang yang akan
menerima bantuan ataupun sedekah dari kita. Setiap tahun kita disuguhi
pemandangan pedih saat menjelang hari raya dimana sebagian orang kaya akan membagikan
kupon pada ratusan orang miskin yang mengharuskan mereka berbaris berdesak
desakkan, berpeluh menunggu berjam-jam di bawah terik mentari, kadang terhimpit
dan terjatuh di dorong-dorong untuk mendapatkan selembar amplop berisi selembar
dua puluh ribuan, bagian dari zakatnya. Jika ada acara untuk anak yatim maka
kita akan melihat pemandangan khas barisan panjang mereka mengantri sekotak
makanan. Bukankah hidup mereka sudah cukup perih untuk ditambahi perasaan malu
karena harus menengadahkan tangannya meminta sesuatu yang sebenarnya adalah hak
mereka dalam bagian rezeki milik si berpunya.
Ada sebuah kisah yang sangat masyhur diihwalkan
bahwasanya Khalifah Umar RA menolak untuk dibantu mengangkat sekarung gandum
yang akan diberikannya pada seorang janda miskin yang terpaksa merebus batu
untuk mendiamkan tangisan anak-anaknya yang kelaparan. Pundak sang Khalifah
menjadi saksi keteguhan Beliau dalam menolong orang yang lemah dengan
memberikan kehormatan tertinggi kepada mereka, justru karena mereka patut mendapatkannya
ketika menerima bantuan, bahkan sesampainya Sang Khalifah di tempat keluarga
miskin yang ditolongnya itu Beliau tidak segan segan turun tangan membantu
menyajikan gandum itu dan menghidangkannya pada anak-anak yatim miskin
tersebut. Karena sesungguhnya harga diri itu ada pada semua orang, maka bisa
jadi orang miskin yang akan kita bantu merasa berat hatinya dengan cara yang
kita pilih saat menolong mereka. Untuk itu memuliakan mereka saat memberi
bantuan, memilih cara yang sesuai adab dan membuat mereka tidak terpaksa harus
mengemis pada sesuatu yang memang menjadi haknya adalah sebuah adab yang harus
kita lakukan karena termasuk hal-hal yang di sunnahkan oleh Rasulullah
SAW.
Referensi :
Kartini
Alafta, Astri. (Januari - Maret 2014). Kopi yang Tergantung. Mata Air,
1(1), 22-23.
0 Comments:
Posting Komentar